Selasa, 09 November 2010

lepassnya timur-timur


Introduksi
Segala sesuatu yang terlibat aktif dalam kekuatan politik tertentu dapat disebut sebagai kekuatan politik. Maka segala sesuatu yang berperan dan berpengaruh didalam dunia politik Indonesia dapa dikatakan sebagai kekuatan politik Indonesia. Kekuatan politik dapat dibagi lagi menjadi 2 yaitu, yang terorganisir dan yang tidak terorganisir. Sekumpulan orang yang berkepentingan dalam sejumlah isu penting, kemudian yang mempunyai pemikiran atau ideologi yang sama akan saling mempengaruhi satu sama lain dalam interaksi yang dilakukan sehingga nantinya akan menghasilkan suatu keputusan atas persepsi bersama.
Kekuatan politik sangat berperan didalam sistem politik di Indonesia. Ada banyak kekuatan politik di Indonesia, namun yang benar-benar berpengaruh dan menonjol hanya beberapa saja. Kekuatan-kekuatan politik tersebut adalah TNI atau ABRI, POLRI, organisasi kecendekiaan, lembaga-lembaga pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, organisasi penelitian, kekuatan politik yang tersebar di daerah-daerah, kelompok kemasyarakatan yang berbasis pada Agama (NU, Muhammadiyah, dll), buruh dan pekerja, mahasiswa, partai-partai politik, dan masih banyak lagi kekuatan-kekuatan politik lainnya di Indonesia. Kekuatan politik Indonesia dapat berupa institusi maupun individu. Contoh kekuatan politik individu yang ada di Indonesia adalah seperti Gusdur. Meskipun beliau tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU), namun beliau mempunyai pengaruh tersendiri dalam dinamika politik di Indonesia di luar organisasi itu sendiri. Selain itu beliau juga merupakan orang yang pernah menjabat menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Kekuatan politik juga dapat dilahirkan oleh suatu peristiwa penting yang terjadi di sebuah negara sehingga mempengaruhi hal-hal yang berkaitan dengan dunia politik. Dengan adanya suatu peristiwa penting dalam sebuah negara, sebenarnya dampak yang dihasilkan bisa berupa berbagai macam. Suatu peristiwa penting tidak hanya dapat melahirkan sebuah kekuatan politik baru atau setidaknya menjadi alasan bagi kemunculan kekuatan politik baru, tetapi dapat juga menghancurkan suatu kekuatan politik yang ada saat itu. Di Indonesia sendiri ada berbagai contoh dari lahirnya maupun runtuhnya sebuah kekuatan politik. Dalam suatu peristiwa dimana ada sebuah kekuatan politik yang hancur, pasti akan ada kekuatan politik baru yang menjadi menggantikannya.
Di Indonesia dapat dilihat dari peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965 yang ketika itu berencana mengkudeta pemerintahan. Ketika itu PKI merupakan sebuah kekuatan politik yang berpengaruh besar di Indonesia sebagai negara yang mengusung ideologi nasionalis, sosialis, dan komunis. Begitu banyak kekuatan politik Indonesia saat itu yang merasakan dampak dari pemberontakan PKI ketika itu. Setelah pemberontakan berhasil diredakan, aliran komunis dilarang oleh negara sehingga PKI pun dibubarkan. Negara tidak dapat bangun dari krisis moneter yang panjang dan pergolakan semakin tidak dapat dikontrol oleh Soekarno, yang menjadi pemimpin bangsa ketika itu. Sehingga pada akhirnya Soekarno mundur dan digantikan oleh Soeharto dan sejak tahun 1966 mulailah sebuah rezim baru. Dalam peristiwa itu, 2 kekuatan politik runtuh atas dampak jangka panjang dari pemberontakan dan kekuatan politik yang lainnya kemudian ‘naik daun’ dan menggantikan posisi yang ditinggalkan.
Dalam peristiwa runtuhnya sebuah rezim pasti akan memberikan sedikit banyak pengaruh bagi kekuatan politik tertentu. Seperti ketika rezim Orde Baru pimpinan Soeharto runtuh, hal tersebut tentunya sangat berpengaruh pada Partai Golongan Karya (Golkar) yang selama ini selalu berdiri di belakangnya. Pengaruhnya bisa berbagai macam hal, salah satunya dengan munculnya partai-partai baru yang berakibat menurunnya pendukung Golkar sehingga berakibat pada berkurangnya kursi yang didapat di pemerintahan.
Subjek yang akan dibahas dalam makalah ini menyangkut sebuah peristiwa penting yang terjadi di Indonesia pada tahun 1999 ketika B.J. Habibie menjabat sebagai Presiden RI ke-3 atas mundurnya Soeharto. Peristiwa ini sangat penting karena menyangkut keputusan Habibie mengenai kesatuan RI. Ketika itu gerakan separatis sedang marak berlangsung di Timor Timur dan rakyatnya menuntut agar Timor Timur mendapat otonomi khusus (luas) dari pemerintah pusat. Hal itu kemudian direspon oleh Habibie, pada masa jabatannya yang kurang dari 2 tahun, dengan membuat keputusan penting yaitu mengeluarkan referendum dengan opsi merdeka. Keputusannya ini berakbat fatal pada dirinya sendiri dan Indonesia tentunya, banyak pihak yang mengemukakan pendapatnya baik yang mendukung maupun yang mengecam.
Sejarah Penjajahan Timor Timur
Sejak dulu Timor Timur selalu menjadi wilayah jajahan. Dahulu Timor Timur merupakan wilayah jajahan Portugis dan sempat pula menjadi daerah jajahan Belanda. Dari dulu sampai tahun 2002, Timor Timur selalu berada dibawah pemerintahan suatu negara. Berawal dari kedatangan Portugis pada tahun 1515 dan sejak tahun 1700-an eksploitasi kekayaan alam Timor Timur pun dimulai. Masyarakat Timor Timur pada akhirnya berhasil mengusir tentara Portugis pada tahun 1912. Pada masa Perang Dunia ke-2, Timor Timur bahkan pernah diokupasi oleh tentara Australia dan Belanda untuk digunakan sebagai daerah aman untuk berlindung meskipun Portugis berkeberatan atas hal ini. Tahun 1942 sampai September 1945, pemerintah Jepang datang untuk menginvasi dan mengeksploitasi kekayaan daerah tersebut. Sejak itu Portugis berusaha membangun kembali Timor Timur namun perkembangannya sangat lamban. Perubahan besar terjadi pada tahun 1974, saat itu Portugis berada dalam proses transisi menuju demokrasi, hal ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan, salah satunya dengan memperbolehkan rakyat Timor untuk mendirikan partai politik. Dengan kebijakan baru dari pemerintahan Portugis maka berdirilah 2 partai di Timor Timur yaitu, Uni Demokrat Timor (UDT) dan Frente Revolucionara Do Timor Leste Independente (Fretilin).
Berbagai peristiwa terjadi sejak ke-2 partai ini terbentuk. Tanggal 11 Agustus 1975, dengan dukungan dari pemerintah Indonesia, UDT melakukan kudeta untuk merebut kekuasaan dari Portugis dan Fretilin. Ketika keadaan menjadi kacau, anggota UDT pergi ke Timor bagian barat dan pemerintahan Portugis pun meninggalkan Dili, dengan keadaan seperti ini Fretilin lah yang menguasai Timor Timur. Dengan Fretillin yang memegang kuasa atas Timor Timur, pada tanggal 28 November 1975, partai tersebut mendeklarasikan berdirinya Republik Demokrat Timor Leste. Kejadian tersebut membuat keadaan di Timor Timur menjadi kacau, kemudian pemerintah Indonesia berusaha membantu meredakan ketegangan dan kekacauan yang ada dengan mengirimkan tentaranya. Ketika itu diperkirakan 60.000 orang menjadi korban atas kekacauan tersebut.
Tanggal 30 November 1975, rakyat Timor Timur, atas kehendaknya sendiri, menyatakan keinginannya untuk berintegrasi dengan Indonesia dalam Deklarasi Balibo. Keinginan ini dipenuhi oleh pemerintah Indonesia dan diperkuat melalui  Undang-Undang No. 7/1976 dan Ketetapan MPR No. 6/1978. Sejak itu, Timor Timur pun menjadi bagian dari Indonesia, meskipun masih dirasakan sebagian masyarakat masih belum terbiasa dengan integrasi tersebut. Deklarasi tersebut berisi tanda tangan sejumlah wakil rakyat Timor Timur yang menyatakan bahwa mereka ingin bergabung menjadi bagian dari NKRI. Meskipun dikatakan hal tersebut merupakan keputusan rakyat Timor Timur untuk berintegrasi, namun tetap ada beberapa pihak yang menyangsikan hasil dari konferensi ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak menganggap proses integrasi Timor Timur dengan Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Balibo dan Undang-Undang, sebagai sesuatu yang sah. PBB tetap menganggap Timor Timur sebagai wilayah persemakmuran Portugis dan pada akhirnya dianggap sebagai wilayah yang belum memiliki pemerintahan sendiri dan belum melaksanakan hak menentukan nasib sendiri. Keputusan untuk berintegrasi tersebut dianggap sebagai keinginan Indonesia saja, bukan sebagai kehendak rakyat Timor Timur.
Habibie Sebagai Presiden RI ke-3
Pada pemilu tahun 1997, dengan kemenangan mutlak Partai Golkar, maka Soeharto kembali diangkat menjadi Presiden RI, untuk yang kesekian kalinya, dan Bacharudin Jusuf Habibie diangkat menjadi wakil presiden. Ketika itu sistem yang diberlakukan bukan sistem pemilihan langsung seperti yang berlaku saat ini. Presiden dan wakil presiden dipilih melalui pengumpulan suara yang dilakukan oleh anggota MPR/DPR.
Saat itu Indonesia sedang berada pada kondisi kritis. Rakyat semakin tidak percaya pada pemerintah dan keadaan bergejolak dengan banyaknya protes terhadap pemerintah. Pada pemilu tahun 1997, Golkar menang telak dari partai-partai saingannya, sehingga jumlah kursi yang didapat dalam MPR/DPR pun menjadi lebih banyak. Hal ini kemudian memudahkan Soeharto dan Habibie untuk menjadi presiden dan wakilnya, sebagai kandidat yang didukung Golkar.
Setelah pemilu usai dan kursi pemerintahan telah ditetapkan, keadan semakin kritis karena tidak ada perubahan baik yang terjadi. Puncaknya pada bulan Mei 1998, dimana para mahasiswa, yang didukung pula oleh rakyat, turun ke jalanan untuk melakukan demonstrasi demi menuntut mundurnya Soeharto. Tuntutan mahasiswa akhirnya terpenuhi ketika Soeharto akhirnya mundur dari jabatannya. Maka atas wewenang MPR, BJ Habibie diangkat menjadi Presiden RI untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Soeharto.
Ketika Habibie menjabat menjadi presiden, seringkali hari-hari diwarnai oleh demonstrasi. Demonstrasi itu mendesak Habibie untuk merespon tuntutan reformasi dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat menginginkan kebebasan pers, kebebasan berpolitik, kebebasan rektrutmen politik, kebebasan berserikat dan mendirikan partai politik, kebebasan berusaha, dan berbagai kebebasan lainnya.
Tuntutan reformasi tersebut direspon Habibie dengan melepaskan tahanan-tahanan politik yang ditangkap selama Soeharto menjabat Presiden, bahkan tahanan PKI pun dilepaskan. Tidak hanya membebaskan para tahanan, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) pun dibebaskan. Bersama DPR yang masih mayoritas tunggal Golkar hasil Pemilu 1997, Habibie mengesahkan banyak undang-undang, di antaranya tentang Partai Politik (multipartai) dan undang-undang tentang Otonomi Daerah. Selain itu diselenggarakan pula Sidang Istimewa MPR yang menghasilkan keputusan untuk mengambil ketetapan mempercepat Pemilu. Sidang tersebut juga membahas masalah tentang pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang selama ini sangat kental dalam pemerintahan.
Dengan berakhirnya masa Orde Baru dan berawalnya era reformasi, rakyat mengajukan berbagai tuntutan kebebasan. Rakyat Timor Timur pun ketika itu memanfaatkan kesempatan yang ada untuk menuntut otonomi daerah khusus atau luas. Tuntutan ini kemudian direspon Habibie melebihi apa yang dituntut rakyat Timor Timur dengan mengeluarkan referendum opsi merdeka. Keputusannya ini tidak hanya dipertanyakan, bahkan sampai dikecam oleh berbagai kalangan. Tanggal 29 Januari 1999 itu merupakan hari  yang menentukan bagi rakyat Timor Timur.
Banyak pihak yang mengecamnya, bahkan ada yang berspekulasi bahwa Habibie ingin meraih hadiah Nobel Perdamaian atas keputusannya mengenai Timor Timur. Dari sekian banyak sepak terjang kontroversialnya, kasus lepasnya Timor Timur agaknya menjadi suatu keputusan fatal bagi seorang presiden yang sesungguhnya telah bersumpah dan berkewajiban mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dianggap sebagai suatu kesalahan yang sangat sulit untuk dimaafkan secara politik.
Sebenarnya keputusan habibie mengenai opsi merdeka pada wilayah Timor Timur tidak sepatutnya disalahkan sepenuhnya. Selama ini pemerintahan Indonesia telah berada di bawah rezim Soeharto selama hampir 32 tahun, di masa itu segala tindakan yang dianggap membahayakan rezim yang berkuasa langsung ditindak tegas oleh hukum. Segala sesuatu dikontrol secara berlebihan, sehingga kebebasan berpendapat menjadi hal yang langka dan sangat berharga. Berbagai aktivis yang menentang pemerintah langsung ditindak secara hukum dengan sangat tegas, sementara pada masa Orde Baru praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat kental dalam setiap sendi pemerintahan. Pada masa itu, masyarakat berada pada kesenjangan sosial yang sangat parah. Orang yang kaya semakin kaya, dibantu relasi yang kuat dengan campur tangan pemerintah, dan yang miskin seperti tidak diberi peluang untuk memperbaiki kehidupan.
Keadaan Indonesia semakin kacau dengan hutang pinjaman luar negri yang semakin membengkak. Dana pinjaman dari IMF, yang dikatakan untuk berbagai bidang kehidupan, terus mengalir entah kemana tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Hal ini menyebabkan hutang semakin menumpuk tanpa ada kesanggupan untuk melunasinya sehingga kita semakin ketergantungan. Dengan sifat yang konsumtif tentunya akan sulit untuk membangun kembali perekonomian dan pemerintahan Indonesia yang sudah ‘tercemar’.
Ketika pada akhirnya rezim Soeharto runtuh, ditandai dengan pengundurandirinya sebagai presiden RI, untuk yang kesekiankalinya, maka era bagi pemerintahan baru pun diharapkan bisa memperbaharui segala kekacauan yang ada selama ini. Rakyat berharap banyak pada pemerintahan baru pimpinan Habibie, berbagai tuntutan kebebasan pun diajukan. Dengan perubahan situasi yang begitu cepat, Habibie sebagai seorang presiden diharapkan bisa memenuhi harapan rakyat. Dalam situasi transisi era pemerintahan tersebut, muncul tuntutan rakyat Timor Timur atas peluasan otonomi daerahnya. Dengan berbagai tekanan yang datang, bahkan dari dunia internasional, Habibie diharapkan memberi keputusan yang bijaksana. Akhirnya setelah mempertimbangkan segala aspek yang ada, ia mengeluarkan referendum yang berisi opsi merdeka bagi rakyat Timor Timur.
Dilihat dari satu sisi, keputusan Habibie atas tuntutan Rakyat Timor Timur tersebut memang fatal. Setelah bertahun-tahun berbagai pihak yang bergerak atas nama Indonesia berusaha untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan negara ini, keputusannya memang terlihat seperti menganggap remeh segala yang telah diusahakan. Layaknya, dengan mudahnya ia seperti memberi jalan salah satu provinsi NKRI ini untuk merdeka. Bahkan TNI mengemukakan kekecewaannya secara terbuka atas keputusan itu. Hal ini dikarenakan TNI selama ini telah berusaha meredam gerakan-gerakan separatis yang ada secara langsung, sementara pemerintah melakukannya melalui jalan diplomasi. Masyarakat luas pun melakukan demonstrasi atas hal ini, menyatakan tanda tidak setuju dan menuntut Habibie agar tidak melepaskan Timor Timur apapun yang terjadi. Habibie kemudian merespon tuntutan ini dengan mengeluarkan refendum. Begitu banyak pihak yang kecewa dan mengecamnya atas keputusan tersebut. Meskipun ia berhasil melaksanakan pemilu yang cukup demokratis pada tahun 1999, dampak atas keputusannya mengenai Timor Timur mengalami puncaknya ketika pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak dalam Sidang Umum MPR.
Bila kita melihat keputusan Habibie tersebut dari sudut pandang lain, dapat dimengerti bahwa sebenarnya Habibie hanya ingin menghilangkan tekanan dari dunia internasional terhadap Indonesia. Dunia internasional dan PBB menekan Indonesia dengan anggapan bahwa Indonesia memaksakan kehendak atas keputusan integrasi Timor Timur terdahulu. PBB mendesak pemerintah Indonesia untuk segera memberikan solusi terbaik bagi masalah Timor Timur.
Dalam situasi yang mendesak tersebut, Habibie mengeluarkan referendum bagi rakyat Timor Timur dengan 2 pilihan, tetap bergabung dengan NKRI dan diberi otonomi daerah luas atau memisahkan diri dari NKRI dan merdeka. Habibie mengeluarkan referendum tersebut dengan keyakinan bahwa rakyat Timor Timur akan memilih untuk tetap bergabung bersama Indonesia. Selain itu, motivasi lain yang mendorongnya member keputusan penting seperti itu adalah agar masyarakat dunia dan PBB dapat melihat dengan jajak pendapat yang dilakukan bahwa rakyat Timor Timur memang  masih berkeinginan untuk menjadi waraga negara Indonesia. Ia berharap, dengan begitu dunia internasional dan PBB dapat menerimanya dengan baik agar Indonesia tidak terus ditekan sebagai negara yang hanya menginvasi Timor Timur semata.
Perspektif PBB dan Dunia Internasional
Sejak integrasi Timtim dipermasalahkan, baik di Dewan Keamanan (1975-1976) maupun di Majelis Umum PBB (1975 sampai sekarang dan kemudian mengalami penundaan sejak 1981), Indonesia selalu berusaha agar PBB dan masyarakat internasional mengakui legalitas integrasi Timtim kepada Indonesia melalui Deklarasi Balibo 30 November 1975.

Untuk mengakses dan mendownload tugas kuliah ini selengkapnya anda harus berstatus Paid Member


Tidak ada komentar:

Posting Komentar